Bicara Seni Rupa Tanpa Rasa Beda
Posts
With Label Jender
Oleh
Jajang Suryana
Ni Gusti Ayu Kade Sari Astuti
Para ahli perempuan membagi ruang gerak perempuan
dalam dua lokasi yakni ruang publik dan ruang domestik. Ruang publik mengacu pada ruang luas yang
menyediakan aneka bentuk persitindakan dengan orang banyak. Ruang publik bisa
juga diartikan sebagai ruang prestise, ruang kehormatan atau ruang pamer.
Namun, para perempuan jarang diberi tampil dalam ruang
publik ini karena adanya anggapan bahwa perempuan cukup dirumah saja, memasak dan
mengurusi urusan rumah tangga, dan laki-laki lah yang harus pergi ke ruang
publik untuk bekerja, mencari uang. Karenanya, perempuan cukup diberi
kesempatan untuk tampil di rumah, mengurus rumah tangga saja, yang sering diistilahkan
dengan ruang domestik alias ruang “sumpek”.
Menampik anggapan diatas, tak jarang sekarang ini
perempuan bali banyak terlibat dalam kegiatan kesenirupaan. Dalam sejumlah
kasus, mereka menyelamatkan sumber keuangan keluarga. Satu contoh yang terjadi
di desa seni Beratan, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Kegiatan menggarap perak,
terutama mengolah bentuk-bentuk hiasan seperti cincin, gelang, kalung, dan
anting-anting, beberapa di antaranya mulai digarap perempuan. Sebut saja mereka
itu senirupawati, karena mereka adalah penggubah karya-karya seni rupa.
Mereka merasa bertanggung jawab penuh untuk melanjutkan
kegiatan seni kriya perak yang mulai banyak ditinggalkan para laki-lakinya. Sehingga,
karena tangan lembut para senirupawat tersebut, beberapa art shop di
Desa Beratan masih bisa hidup campur
JENDER DAN JENDER
Di Bali ada sejumlah kegiatan seni rupa yang dianggap
milik kaum perempuan. Sebagai contoh, menenun adalah milik perempuan. Di Desa
Jineng Dalem, masih di kawasan Kabupaten Buleleng, ada kepercayaan yang masih
dipelihara oleh para perempuan bahwa "jika perempuan Jineng Dalem tak bisa
nyongket, perempuan itu tak bakal masuk nirwana". Sebuah upaya pewarisan
dan pemertahanan sikap yang dianggap membedakan peran jender.
Perempuan selalu dianggap memiliki kelebihan dalam
ketelatenan, kehalusan rasa, dan keapikan, kemudian ditempatkan sebagai
penggarap bagian finishing benda-benda seni rupa. Di Desa Tegallalang,
Ubud, misalnya, dalam kegiatan pembuatan patung-patung kayu, para perempuan
ditempatkan sebagai pengampelas, pemelitur, atau jenis kegiatan finishing
lainnya.
Secara jender, senirupawati Bali adalah pelaku utama
dalam kegiatan-kegiatan menenun, membordir, menganyam bilah bambu untuk membuat
sokasi (sejenis bakul nasi atau tempat sajen), membuat gerabah, sekadar
memelitur perkakas, atau terutama mabanten (menyiapkan banten, sajen). Namun,
tak jarang dari mereka yang mempunyai kesibukan ganda yakni selain mengurus
keperluan keluarga mereka juga mencari nafkah tambahan, masih harus
menyelesaikan tugas adat.
Hasil penelitian di daerah Buleleng dan Gianyar
(Jajang dan Widnyana, 2001) menunjukkan bahwa kualitas keterlibatan para
perempuan Bali dalam kegiatan bidang kesenirupaan lebih banyak sebatas
pelaksana kegiatan (58%). Dengan 32 %
sebagai pelaku utama (perancang kegiatan, pelaksana, maupun pemasar), dan
sisanya berturut-turut sebagai pemasar, buruh, dan pemilik modal.
Para lelaki Bali beranggapan bahwa keberadaan para
perempuan di bidang kesenirupaan adalah sebagai mitra yang sangat menguntungkan
ekonomi keluarga. Ciri jender telaten, sabar, halus, dan tekun yang telah
dilekatkan kepada perempuan ditunjuk sebagai salah satu pilihan mengapa para
perempuan Bali, para senirupawati Bali, masih ditempatkan sebagai pemberi
sentuhan terakhir dalam pengerjaan benda-benda seni rupa.
Senirupawati Bali yang bergerak di ruang publik, walau
jumlahnya sangat sedikit, baru mengusung kegiatan bidang seni lukis. Dengan
tampilnya senirupawati di ruang publik di antara para pelukis
"penguasa" ruang publik, dengan tampilan yang sangat berbeda. Dan,
sentuhan perempuan ternyata bisa menghadirkan kelainan yang cukup memukau
publik penikmat seni rupa.
PENDIDIKAN
Para perempuan Bali, memang masih malu-malu untuk
tampil di ruang publik seni rupa. Padahal di ruang publik seni lainnya, begitu
banyak di antara mereka yang telah meraih keberhasilan.
Perempuan Bali yang bersekolah di lembaga pendidikan
seni rupa bisa dihitung dengan jari. Sementara yang berharap bisa memilih
bidang pariwisata, atau bidang yang terkait dengan pariwisata, misalnya bidang
studi bahasa Inggris, sangat banyak jumlahnya.
Padahal, kekayaan Bali adalah kesenian, terutama seni tari,
seni rupa, dan seni musik. Sementara di sekolah seni rupa, pun lebih banyak
cerita tentang seni rupa Barat. Dan, dalam seni rupa Barat, para perempuan
adalah pelaku seni rupa yang sangat tidak diperhitungkan keberadaannya dan
sangat jarang terlihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar