Dosen Pengampu Mata Kuliah:
Drs. Jajang Suryana, M.Si
Disusun
Oleh:
Nama : Ni Gusti Ayu Kade Sari Astuti
NIM : 1111031205
Semester/Kelas : VI/E
Jurusan : PGSD
Seni Rupa Anak-Anak
"Meniru Komik Menjaring Inspirasi"
(Resume dari blog:
rupasenirupa.blogspot.com)
“Istilah seniman dan perajin lahir dari pembedaan kelas sosial pelaku seni rupa. Seniman, terjemah dari kata artist, adalah sebutan untuk pelaku seni akademisi, orang kota. Sebaliknya, perajin yang merupakan padan kata dari craftsman, adalah untuk menunjuk pelaku seni non-akademisi, kebanayakan orang desa.Padahal, baik seniman ataupun perajin sebenarnya tak ada bedanya, karena mereka sama-sama menghasilkan karya seni”
Meniru dalam kegiatan menggambar yang dilakukan oleh
anak-anak hanyalah sebagai upaya pencarian, penjaringan inspirasi, dan
pelatihan hal-hal yang bersifat teknis. Apapun bentuk acuan yang dijadikan
sasaran tiruan ( bisa dari komik, film kartun, karya teman, maupun karya orang dewasa
dan kejadian sebenarnya) pada waktunya semua itu hanyalah sebagai upaya
menjaring inspirasi, proses kreasi, atau pendorong munculnya bentuk-bentuk
kreativitas anak yang baru.
Meniru?? Bukan kata yang asing lagi bagi kita! Fitrah
manusia terbesar adalah meniru. Banyak seniman tradisi yang lahir dan
dibesarkan melalui kegiatan copy the
master. Anak-anak Indonesia, bakal pewaris komik gaya Indonesia, telah banyak
menjadi peniru gambar gaya manga (konik jepang). Berbaha memang!
Lalu, siapa yang peduli dan mau bersungguh-sungguh memperhatikan kondisi itu?
Plagiat
adalah istilah lain untuk para peniru. Tidak bisa disangkal, sejak awal
kelahirannya, manusia adalah peniru ulung. Hampir semua kemampuan manusia
didapatkan melalui proses peniruan. Manusia adalah mahluk peniru. Satu
pernyataan menarik pernah dikemukakan oleh seorang seniman Australia: “Di Bali,
sekalipun kegiatan kesenian berangkat dari kebiasaan meniru-ulang karya, telah
banyak melahirkan seniman besar”.
Kebiasaan meniru berawal dari
masa kanak-kanak. Semua anak pada awalnya suka menggambar. Kegiatan menggambar awal
diyakini oleh para ahli psikologi sebagai bentuk kegiatan pematangan kemampuan
motorik anak. Menggambar, pada kenyataannya, adalah kegiatan yang mengutamakan
sinkronisasi antara kemampuan lihatan dan gerakan.
A. Menyikapi Gunung-Kembar
Format gunung kembar ini bisa ditemukan pada gambar
buatan anak-anak Indonesia. Anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar
normal maupun anak luar biasa (anak slow
learner maupun imbesil sekalipun bisa
ditemukan menggunakan format gambar tadi. Jelas, hal tadi tidak bisa disebut
sebagai archetype gambar anak-anak Indonesia. Penurunan dari guru, orang
tua, maupun teman sebaya, tampaknya, lebih nalar jika ditunjuk sebagai sumber
pangaruh terhadap kesukaan anak-anak Indonesia dalam meniru format gambar
“gunung-kembar”.
Pembelajaran seni rupa di sekolah-sekolah umum
menunjukkan pola pembelajaran yang hampir sama. Pengaruh guru sangat kuat dalam
mengarahkan anak untuk mencontoh pola yang dijejalkan guru sebagai cara
menggambar yang mudah. Sehingga tanpa
diajar oleh siapapun anak Indonesia mampu menggambar wayang idolanya di luar
kepala. Maka juga gambar gunung yang terdapat di mana-mana, dengan mudahnya
diserap mereka sebagai salah satu tema.
B. Copy the Master
Dalam pola pikir Barat Modern, karya seni bisa lahir
berawal dari konsep. Ini yang sering dituntut oleh para penganut faham
berkesenian cara pikir bangsa Barat. Untuk berkarya seni, seseorang harus bisa
melewati tahap-tahapan kelas kemampuan. Untuk belajar melukis, misalnya,
seseorang harus belajar secara bertahap: garis dan bentuk, kemudian anatomi,
perspektif, warna, komposisi, dan lain sebagainya.
Hal yang sangat berbeda dengan konsep Barat Modern,
adalah pembelajaran yang hidup dalam tradisi-tradisi besar di semua belahan
dunia seni rupa, yang sangat erat dengan kegiatan peniruan. Proses peniruan
diperlakukan orang sebagai jalan-antara dari tingkat pemula menuju tingkat
mahir. Di Cina masa lalu misalnya, seseorang yang ingin menjadi pelukis harus
bisa meniru lukisan seorang master.
Metode copy the
master ini, tampaknya, berlaku juga dalam cara didik masyarakat kesenian
tradisi di Bali. Banyak seniman besar Bali yang lahir dari proses kegiatan
meniru. Begitu pun banyak seniman besar China yang lahir dari proses yang sama.
Pematung Dani, Pematung Afrika, juga lahir dari proses peniruan.
Para seniman kebanggaan kaum modernis sekelas Pablo
Picasso, Georges Braque, Charles Ẻdouard Jeanneret, dan Amẻdẻẻ Ozenfant, pada
periode tertentu menggubah tema dan bentuk-bentuk yang sama: still life yang dipadu dengan violin, pitcher, glass, bottle, lantern dan guitar. Pada periode lain, gaya cubist yang sama digarap oleh Fernand
Lẻger, Pablo Picasso, dan Juan Gris. Dan, Vincent van Gogh pun pernah mengkopi,
menjiplak, karya woodcut seniman
Jepang Ando Hiroshige. Dan masih banyak kegiatan meniru lainnya di segala
bidang kehidupan, bukan dalam bidang seni saja.
Meniru adalah kemampuan awal yang mendasari semua
keterampilan manusia. Jika manusia dibiarkan hidup sendiri tanpa manusia lain
yang bisa ditirunya, boleh jadi peniruan akan dilakukan juga kepada sesuatu
yang ada di dekatnya. Hayalan tentang manusia-manusia yang terjauh dari manusia
lainnya, dikemas oleh para seniman komik seperti dalam cerita Tarzan, yang
kemudian ditiru juga dalam versi lingkungan tertentu lainnya.
Perlu dilakukan penelitian, berapa persen keterampilan
yang dimiliki manusia yang diperoleh melalui cara meniru. Malahan, sejatinya
manusia adalah mahluk yang tak pernah berhenti meniru. Artinya, tidak perlu
dipermasalahkan apalagi memastikan bahwa meniru adalah bentuk kegiatan yang
memalukan atau bernilai rendah. Kelengkapan perangkat pikir yang telah
dianugerahkan Tuhan kepada semua manusia, kemudian akan menjadi perangkat
pilih, pilah, pisah, dan rangkum, semua hasil perilaku meniru yang pernah
dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itu, kegiatan meniru adalah salah satu
proses pencarian, proses penggubahan, proses pengayaan pengalaman yang penting
dalam rangkaian tindakan manusia untuk mengembangkan dirinya.
C. Mengapa Komik?
Gambar buatan anak-anak sangat menarik untuk
dibicarakan. Daya tarik gaya gambar anak-anak masa kini terletak pada
penampakan pengaruh besar dari cerita komik, baik pengaruh gaya Walt Disney,
Warner Bros, dan terutama pengaruh dari bah
cerita Jepang.
Tokoh-tokoh yang bernama asing di telinga anak-anak
Indonesia, mengikuti waktu, telah menjadi biasa. Bahkan lagu tema yang
menyertai tayangan anime pun telah banyak dihafal oleh
anak-anak sebagai perekat kesukaan mereka terhadap tokoh-tokoh yang mereka
gandrungi. Perhatikan, betapa mereka bersuka cita ketika menggambar tokoh-tokoh
kesukaan mereka sambil menyanyikan lagu tema anime yang biasa mereka tonton!
Komik termasuk karya gabungan. Beberapa kegiatan seni
bisa muncul di sana. Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya (seni gambar,
seni ilustrasi, dan seni grafis), dipadu dengan unsur seni sastra. Tetapi
banyak kalangan teoretisi seni rupa maupun sastra enggan memasukkan komik ke
dalam kategori seni utama. Dalam teori seni rupa Barat ada pemilahan kelompok
seni rupa dalam dua bentuk: seni murni (terjemah dari pure art), sering juga disebut dalam kelompok seni utama (major art), dan seni terap (applied art) atau yang digolongkan
sebagai seni remeh (minor art).
Yang termasuk kategori seni remeh, menurut teoretisi
seni rupa Barat, banyak sekali, yaitu jenis kegiatan seni rupa di luar kelompok
seni murni, seni utama. Komik, sebagai kelompok seni remeh, berada pada posisi
tersebut, pemosisian yang kurang memperhitungkan keberadaannya.
Memilah seni rupa berdasarkan murni-terap atau
utama-remeh. Semua jenis seni rupa dibahas secara lengkap sebagai kajian yang
memiliki kesamaan posisi. Hal yang sama bisa kita temukan juga dalam
bahasan-bahasan sosiologi seni. Pengelompokan murni-terap atau utama-remeh
dalam seni rupa berawal dari sikap penghargaan terhadap kelompok pelaku seni.
Pelaku seni murni adalah para pekota, pelaku seni akademisi. Mereka penentu
kebijakan-kebijakan teori seni, karena merekalah yang menulis buku acuan seni.
Sikap para teoretisi seni rupa, khususnya, kurang
memiliki penghargaan yang baik terhadap para pelaku seni non-akademisi. Oleh
karena itu, muncullah penyebutan yang berbeda antara pelaku seni akademisi
dengan non-akademisi. Di dunia seni rupa Barat kental sekali pembedaan
tersebut, yang bersumber dari pembedaan kelas sosial pelaku seni.
Istilah seniman
dan perajin lahir dari pembedaan
kelas sosial pelaku seni rupa. Seniman, terjemah dari kata artist, adalah sebutan untuk pelaku seni akademisi, orang kota.
Sebaliknya, perajin yang merupakan padan kata dari craftsman, adalah untuk menunjuk pelaku seni non-akademisi,
kebanayakan orang desa. Begitu di Barat, begitu juga di lingkungan masyarakat
seni Indonesia. Pekomik, dalam teori seni rupa Indonesia hanya dihargai sebagai
perajin saja, yaitu pelaku seni yang karyanya terkait dengan urusan pesanan,
jual-beli, dan sejenisnya. Alasan itulah yang kerap ditunjuk sebagai pembeda
antara kegiatan kelompok yang mengaku seniman dengan perajin.
4. Komik dan Gambar Buatan Anak-anak
Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar
menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek
secara mirip.
Kesenangan
meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh
perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip
mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar.
Sejumlah anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya.
Memang, irama perkembangan masing-masing anak tidak
ada yang sama persis. Semua anak memiliki jalur perkembangan motorik yang
berbeda. Seakalipun kesukaan akan gambar pada kebanyakan anak bisa dikatakan
seragam pada usia yang sama, namun karena keragaman irama perkembangan tadi
menyebabkan perbedaan-perbadaan intensitas perhatian anak terhadap kegiatan
menggambar.
Meniru, ternyata, bukan hal yang
membahayakan kegiatan anak dalam menggambar. Alasan pengagungan nilai
kreativitas seringkali dipakai oleh para guru, teoretisi pendidikan seni rupa, atau para pembina sanggar. Ada anggapan
awal yang mengatakan eniru adalah perbuatan yang tidak kreatif. Padahal nak-anak, secara normal, mengikuti
pola peniruan itu tanpa beban.
Pola peniruan bisa beragam bentuk. Ada peniruan dengan
mengandalkan pola ingatan. Ada juga pola peniruan dengan menggunakan ‘sumber
acuan’ yang visual, tak perlu diendapkan dahulu di dalam ingatan. Bahan tiruan
bisa berubah setiap masa, bergantung kepada sesuatu yang menjadi sumber
inspirasi mereka.
Kini, ada jenis cerita baru yang lebih menarik bagi
anak-anak Bali maupun bagi anak-anak lain di Indonesia. Jenis cerita ini adalah
komik, film kartun, maupun jenis-jenis mainan buatan masyarakat Jepang lainnya,
yang dikemas lebih menarik dan sejalan dengan situasi anak-anak masa kini.
Pada saat anak-anak memasuki masa meniru gambar yang
sangat berat, yaitu pada waktu anak-anak sangat bergantung kepada gambar buatan
orang lain sebagai bahan tiruan, memang tampak keburukan yang oleh orang dewasa
sering disebut sebagai pengaruh negatif dari kegiatan meniru.
Anak-anak tertentu yang memiliki pembawa khusus bidang
seni rupa, juga pernah melewati kondisi tadi. Masa seperti itu tidak
berlangsung lama. Pada waktunya anak-anak bisa kembali ke dalam kondisi
keaslian masa kanak-kanak yang penuh dinamika dalam kegiatan menggambar.