Blogger Widgets

Kamis, 05 Juni 2014

Tugas 10 : Seni Rupa Anak-Anak



Dosen Pengampu Mata Kuliah:
Drs. Jajang Suryana, M.Si
Disusun Oleh:
Nama                                 : Ni Gusti Ayu Kade Sari Astuti
NIM                                   : 1111031205
Semester/Kelas                   : VI/E       
Jurusan                              : PGSD

  


Seni Rupa Anak-Anak

"Meniru Komik Menjaring Inspirasi"

(Resume dari blog:  

rupasenirupa.blogspot.com)



“Istilah seniman dan perajin lahir dari pembedaan kelas sosial pelaku seni rupa. Seniman, terjemah dari kata artist, adalah sebutan untuk pelaku seni akademisi, orang kota. Sebaliknya, perajin yang merupakan padan kata dari craftsman, adalah untuk menunjuk pelaku seni non-akademisi, kebanayakan orang desa.Padahal, baik seniman ataupun perajin sebenarnya tak ada bedanya, karena mereka sama-sama menghasilkan karya seni”



Meniru dalam kegiatan menggambar yang dilakukan oleh anak-anak hanyalah sebagai upaya pencarian, penjaringan inspirasi, dan pelatihan hal-hal yang bersifat teknis. Apapun bentuk acuan yang dijadikan sasaran tiruan ( bisa dari komik, film kartun, karya teman, maupun karya orang dewasa dan kejadian sebenarnya) pada waktunya semua itu hanyalah sebagai upaya menjaring inspirasi, proses kreasi, atau pendorong munculnya bentuk-bentuk kreativitas anak yang baru.
Meniru?? Bukan kata yang asing lagi bagi kita! Fitrah manusia terbesar adalah meniru. Banyak seniman tradisi yang lahir dan dibesarkan melalui kegiatan copy the master. Anak-anak Indonesia, bakal pewaris komik gaya Indonesia, telah banyak  menjadi peniru gambar gaya manga (konik jepang). Berbaha memang! Lalu, siapa yang peduli dan mau bersungguh-sungguh memperhatikan kondisi itu?
            Plagiat adalah istilah lain untuk para peniru. Tidak bisa disangkal, sejak awal kelahirannya, manusia adalah peniru ulung. Hampir semua kemampuan manusia didapatkan melalui proses peniruan. Manusia adalah mahluk peniru. Satu pernyataan menarik pernah dikemukakan oleh seorang seniman Australia: “Di Bali, sekalipun kegiatan kesenian berangkat dari kebiasaan meniru-ulang karya, telah banyak melahirkan seniman besar”.
            Kebiasaan meniru berawal dari masa kanak-kanak. Semua anak pada awalnya suka menggambar. Kegiatan menggambar awal diyakini oleh para ahli psikologi sebagai bentuk kegiatan pematangan kemampuan motorik anak. Menggambar, pada kenyataannya, adalah kegiatan yang mengutamakan sinkronisasi antara kemampuan lihatan dan gerakan.

A.       Menyikapi Gunung-Kembar

Format gunung kembar ini bisa ditemukan pada gambar buatan anak-anak Indonesia. Anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar normal maupun anak luar biasa (anak slow learner maupun imbesil sekalipun bisa ditemukan menggunakan format gambar tadi. Jelas, hal tadi tidak bisa disebut sebagai  archetype gambar anak-anak Indonesia. Penurunan dari guru, orang tua, maupun teman sebaya, tampaknya, lebih nalar jika ditunjuk sebagai sumber pangaruh terhadap kesukaan anak-anak Indonesia dalam meniru format gambar “gunung-kembar”.
Pembelajaran seni rupa di sekolah-sekolah umum menunjukkan pola pembelajaran yang hampir sama. Pengaruh guru sangat kuat dalam mengarahkan anak untuk mencontoh pola yang dijejalkan guru sebagai cara menggambar yang mudah.  Sehingga tanpa diajar oleh siapapun anak Indonesia mampu menggambar wayang idolanya di luar kepala. Maka juga gambar gunung yang terdapat di mana-mana, dengan mudahnya diserap mereka sebagai salah satu tema.

B.    Copy the Master

Dalam pola pikir Barat Modern, karya seni bisa lahir berawal dari konsep. Ini yang sering dituntut oleh para penganut faham berkesenian cara pikir bangsa Barat. Untuk berkarya seni, seseorang harus bisa melewati tahap-tahapan kelas kemampuan. Untuk belajar melukis, misalnya, seseorang harus belajar secara bertahap: garis dan bentuk, kemudian anatomi, perspektif, warna, komposisi, dan lain sebagainya.
Hal yang sangat berbeda dengan konsep Barat Modern, adalah pembelajaran yang hidup dalam tradisi-tradisi besar di semua belahan dunia seni rupa, yang sangat erat dengan kegiatan peniruan. Proses peniruan diperlakukan orang sebagai jalan-antara dari tingkat pemula menuju tingkat mahir. Di Cina masa lalu misalnya, seseorang yang ingin menjadi pelukis harus bisa meniru lukisan seorang master.
Metode copy the master ini, tampaknya, berlaku juga dalam cara didik masyarakat kesenian tradisi di Bali. Banyak seniman besar Bali yang lahir dari proses kegiatan meniru. Begitu pun banyak seniman besar China yang lahir dari proses yang sama. Pematung Dani, Pematung Afrika, juga lahir dari proses peniruan.
Para seniman kebanggaan kaum modernis sekelas Pablo Picasso, Georges Braque, Charles Ẻdouard Jeanneret, dan Amẻdẻẻ Ozenfant, pada periode tertentu menggubah tema dan bentuk-bentuk yang sama: still life yang dipadu dengan violin, pitcher, glass, bottle, lantern dan guitar. Pada periode lain, gaya cubist yang sama digarap oleh Fernand Lẻger, Pablo Picasso, dan Juan Gris. Dan, Vincent van Gogh pun pernah mengkopi, menjiplak, karya woodcut seniman Jepang Ando Hiroshige. Dan masih banyak kegiatan meniru lainnya di segala bidang kehidupan, bukan dalam bidang seni saja.
Meniru adalah kemampuan awal yang mendasari semua keterampilan manusia. Jika manusia dibiarkan hidup sendiri tanpa manusia lain yang bisa ditirunya, boleh jadi peniruan akan dilakukan juga kepada sesuatu yang ada di dekatnya. Hayalan tentang manusia-manusia yang terjauh dari manusia lainnya, dikemas oleh para seniman komik seperti dalam cerita Tarzan, yang kemudian ditiru juga dalam versi lingkungan tertentu lainnya.
Perlu dilakukan penelitian, berapa persen keterampilan yang dimiliki manusia yang diperoleh melalui cara meniru. Malahan, sejatinya manusia adalah mahluk yang tak pernah berhenti meniru. Artinya, tidak perlu dipermasalahkan apalagi memastikan bahwa meniru adalah bentuk kegiatan yang memalukan atau bernilai rendah. Kelengkapan perangkat pikir yang telah dianugerahkan Tuhan kepada semua manusia, kemudian akan menjadi perangkat pilih, pilah, pisah, dan rangkum, semua hasil perilaku meniru yang pernah dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itu, kegiatan meniru adalah salah satu proses pencarian, proses penggubahan, proses pengayaan pengalaman yang penting dalam rangkaian tindakan manusia untuk mengembangkan dirinya.

C.      Mengapa Komik? 

Gambar buatan anak-anak sangat menarik untuk dibicarakan. Daya tarik gaya gambar anak-anak masa kini terletak pada penampakan pengaruh besar dari cerita komik, baik pengaruh gaya Walt Disney, Warner Bros, dan terutama pengaruh dari bah cerita Jepang.
Tokoh-tokoh yang bernama asing di telinga anak-anak Indonesia, mengikuti waktu, telah menjadi biasa. Bahkan lagu tema yang menyertai tayangan anime pun telah banyak dihafal oleh anak-anak sebagai perekat kesukaan mereka terhadap tokoh-tokoh yang mereka gandrungi. Perhatikan, betapa mereka bersuka cita ketika menggambar tokoh-tokoh kesukaan mereka sambil menyanyikan lagu tema anime yang biasa mereka tonton!
Komik termasuk karya gabungan. Beberapa kegiatan seni bisa muncul di sana. Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya (seni gambar, seni ilustrasi, dan seni grafis), dipadu dengan unsur seni sastra. Tetapi banyak kalangan teoretisi seni rupa maupun sastra enggan memasukkan komik ke dalam kategori seni utama. Dalam teori seni rupa Barat ada pemilahan kelompok seni rupa dalam dua bentuk: seni murni (terjemah dari pure art), sering juga disebut dalam kelompok seni utama (major art), dan seni terap (applied art) atau yang digolongkan sebagai seni remeh (minor art).
Yang termasuk kategori seni remeh, menurut teoretisi seni rupa Barat, banyak sekali, yaitu jenis kegiatan seni rupa di luar kelompok seni murni, seni utama. Komik, sebagai kelompok seni remeh, berada pada posisi tersebut, pemosisian yang kurang memperhitungkan keberadaannya.
Memilah seni rupa berdasarkan murni-terap atau utama-remeh. Semua jenis seni rupa dibahas secara lengkap sebagai kajian yang memiliki kesamaan posisi. Hal yang sama bisa kita temukan juga dalam bahasan-bahasan sosiologi seni. Pengelompokan murni-terap atau utama-remeh dalam seni rupa berawal dari sikap penghargaan terhadap kelompok pelaku seni. Pelaku seni murni adalah para pekota, pelaku seni akademisi. Mereka penentu kebijakan-kebijakan teori seni, karena merekalah yang menulis buku acuan seni.
Sikap para teoretisi seni rupa, khususnya, kurang memiliki penghargaan yang baik terhadap para pelaku seni non-akademisi. Oleh karena itu, muncullah penyebutan yang berbeda antara pelaku seni akademisi dengan non-akademisi. Di dunia seni rupa Barat kental sekali pembedaan tersebut, yang bersumber dari pembedaan kelas sosial pelaku seni.
Istilah seniman dan perajin lahir dari pembedaan kelas sosial pelaku seni rupa. Seniman, terjemah dari kata artist, adalah sebutan untuk pelaku seni akademisi, orang kota. Sebaliknya, perajin yang merupakan padan kata dari craftsman, adalah untuk menunjuk pelaku seni non-akademisi, kebanayakan orang desa. Begitu di Barat, begitu juga di lingkungan masyarakat seni Indonesia. Pekomik, dalam teori seni rupa Indonesia hanya dihargai sebagai perajin saja, yaitu pelaku seni yang karyanya terkait dengan urusan pesanan, jual-beli, dan sejenisnya. Alasan itulah yang kerap ditunjuk sebagai pembeda antara kegiatan kelompok yang mengaku seniman dengan perajin.  

4. Komik dan Gambar Buatan Anak-anak

Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek secara mirip.
Kesenangan meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar. Sejumlah anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya.
Memang, irama perkembangan masing-masing anak tidak ada yang sama persis. Semua anak memiliki jalur perkembangan motorik yang berbeda. Seakalipun kesukaan akan gambar pada kebanyakan anak bisa dikatakan seragam pada usia yang sama, namun karena keragaman irama perkembangan tadi menyebabkan perbedaan-perbadaan intensitas perhatian anak terhadap kegiatan menggambar. 
            Meniru, ternyata, bukan hal yang membahayakan kegiatan anak dalam menggambar. Alasan pengagungan nilai kreativitas seringkali dipakai oleh para guru, teoretisi pendidikan seni  rupa, atau para pembina sanggar. Ada anggapan awal yang mengatakan eniru adalah perbuatan yang tidak kreatif.  Padahal nak-anak, secara normal, mengikuti pola peniruan itu tanpa beban.
Pola peniruan bisa beragam bentuk. Ada peniruan dengan mengandalkan pola ingatan. Ada juga pola peniruan dengan menggunakan ‘sumber acuan’ yang visual, tak perlu diendapkan dahulu di dalam ingatan. Bahan tiruan bisa berubah setiap masa, bergantung kepada sesuatu yang menjadi sumber inspirasi mereka.
Kini, ada jenis cerita baru yang lebih menarik bagi anak-anak Bali maupun bagi anak-anak lain di Indonesia. Jenis cerita ini adalah komik, film kartun, maupun jenis-jenis mainan buatan masyarakat Jepang lainnya, yang dikemas lebih menarik dan sejalan dengan situasi anak-anak masa kini.
Pada saat anak-anak memasuki masa meniru gambar yang sangat berat, yaitu pada waktu anak-anak sangat bergantung kepada gambar buatan orang lain sebagai bahan tiruan, memang tampak keburukan yang oleh orang dewasa sering disebut sebagai pengaruh negatif dari kegiatan meniru.
Anak-anak tertentu yang memiliki pembawa khusus bidang seni rupa, juga pernah melewati kondisi tadi. Masa seperti itu tidak berlangsung lama. Pada waktunya anak-anak bisa kembali ke dalam kondisi keaslian masa kanak-kanak yang penuh dinamika dalam kegiatan menggambar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar